Harmful Tax Competition dan Keterbukaan Informasi Wajib Pajak

Harmful Tax Competition dan Keterbukaan Informasi Wajib Pajak - Hallo sahabat Indonesia Membaca, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Harmful Tax Competition dan Keterbukaan Informasi Wajib Pajak, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Opini, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Harmful Tax Competition dan Keterbukaan Informasi Wajib Pajak
link : Harmful Tax Competition dan Keterbukaan Informasi Wajib Pajak

Baca juga


Harmful Tax Competition dan Keterbukaan Informasi Wajib Pajak


Harmful Tax Competition dan Keterbukaan Informasi Wajib Pajak
(Penulis : Dr. Widi Widodo, staf Ditjen Pajak, sebuah pendapat pribadi)
Pajak merupakan sumber penerimaan terbesar dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Di Indonesia, sistem dan praktik perpajakannya lebih difokuskan pada pencapaian target penerimaan pajak dalam APBN tanpa mempertimbangkan salah satu fungsinya sebagai instrumen kebijakan atau regulerend.  Contoh fungsi regulerend diantaranya redistribusi pendapatan dan perhatian pada sisi pengeluaran (expenditure-side) dalam bentuk program kesejahteraan (social expenditure).

Peran negara sangatlah penting dan ditopang oleh kontribusi penerimaan pajak. Sebagai perbandingan, persentase penerimaan pajak terhadap PDB (tax ratio) negara-negara OECD selalu meningkat dari 25% pada tahun 1960, 33,3% pada tahun 1980, dan menjadi 37,9% pada tahun 2000. Adapun perkembangan penerimaan pajak Indonesia terhadap APBN tampak dalam tabel berikut:


Dapat dilihat bahwa pajak merupakan sumber penerimaan utama bagi bangsa Indonesia untuk mendukung pembiayaan pembangunan. Jeffrey Owens dari OECD menyatakan bahwa pajak adalah pilar penyangga bagi ekonomi pasar, penyedia dana yang dibutuhkan pemerintah untuk investasi, menjadikan pemerintah bertanggungjawab terhadap warga negara, dan membuat kaitan antara pelayanan pemerintah dengan partisipasi warga negara. Pajak juga merupakan sarana utama negara-negara berkembang untuk mobilisasi penerimaan dalam negeri dan untuk pembangunan negeri dengan mengurangi ketergantungan pada utang.

Untuk memahami masalah perpajakan di Indonesia, diperlukan analisis struktur perpajakan dari berbagai indikator. Berdasarkan tax ratio, penerimaan pajak cenderung stagnan dan kenaikannya bersifat inkremental. Berikut perbandingan penerimaan pajak dan jenis pajak terhadap produk domestik bruto (dalam milyar rupiah):

Rasio pajak di Indonesia masih berkisar 12% terhadap PDB. Persentase tersebut termasuk rendah apabila dibandingkan dengan negara-negara lain. Saat ini, Indonesia termasuk dalam kategori negara pendapatan menengah bawah dan rata-rata rasio pajak pada negara-negara sejenis adalah sebesar 19%.

Berikut tabel rata-rata rasio pajak:


Tabel di atas menunjukan, rasio pajak Indonesia sangat rendah dibandingkan dengan rata-rata rasio pajak dunia ataupun negara-negara OECD. Terlepas dari perbedaan cara perhitungan rasio pajak, Indonesia dapat dianggap dalam kondisi undertaxing. Saat ini, penerimaan pajak di Indonesia paling besar ditopang oleh Pajak Penghasilan terutama Pajak Penghasilan Badan. Sebagai contoh, pada tahun 2010 penerimaan Pajak Penghasilan badan berkontribusi sebesar 45% dari total penerimaan pajak, sedangkan penerimaan Pajak Penghasilan Orang Pribadi hanya berkontribusi sekitar 12%. Komposisi ini sangat berbeda bila dibandingkan dengan rata-rata rasio di negara-negara OECD yang sebesar 5:1, artinya jumlah penerimaan dari Pajak Penghasilan Orang Pribadi lima kali lipat daripada Pajak Penghasilan Badan.

Di dalam sistem perpajakan modern, setiap pihak diminta untuk berkontribusi kepada negara sesuai dengan kemampuan mereka (fair share) sehingga tidak ada satu pun yang menjadi free rider dalam masyarakat. Secara umum ada dua konsep utama dari fair share dalam sistem perpajakan, yaitu unsur keadilan dan unsur keadilan terhadap manfaat yang diberikan pemerintah kepada seseorang atas pajak yang dibayarnya.

Langkah awal menentukan unsur keadilan dalam pendistribusian beban pajak adalah menentukan siapa saja yang harus menanggung biaya pengadaan barang dan fasilitas publik. Di dalam Pajak Penghasilan Orang Pribadi, penentuan pihak yang menanggung biaya pengadaan barang dan fasilitas publik mengadopsi prinsip horizontal equity, sehingga setiap orang diberikan ambang batas yang sama dan yang penghasilannya melebihi ambang batas tersebut (Penghasilan Tidak Kena Pajak/PTKP) maka akan diwajibkan membayar pajak. Besaran kontribusi pajak ditentukan dengan menerapkan prinsip vertical equity melalui penerapan tarif progresif.

Free rider terjadi apabila terdapat pihak yang penghasilannya sudah melebihi PTKP namun tidak membayar pajak atas penghasilan tersebut. Keberadaan free rider tentunya merugikan negara dan bisa memicu Wajib Pajak patuh menjadi tidak patuh. Oleh karena itu, untuk menghindari dampak dari keberadaan free rider ini maka otoritas pajak ikut berperan untuk menciptakan norma sosial dalam masyarakat dengan memastikan besaran kontribusi yang adil bagi setiap individu dalam masyarakat.

Saat ini, Indonesia sedang bersaing dengan negara-negara Asia Tenggara lain untuk menarik minat investor. Terdapat “perang tarif” antar negara sehingga cenderung mengakibatkan adanya harmful tax competition. Masuknya investor ke suatu negara akan mengakibatkan :

Mengurangi Angka Pengangguran
Investor yang masuk dengan cara membuka pabrik atau perusahaan baru di negara tujuan ataupun dengan mengakuisisi perusahaan yang sudah ada di negara tersebut akan berdampak pada kebutuhan jumlah tenaga kerja sehingga angka pengangguran akan berkurang, contohnya Phillip Morris yang mengakuisisi Sampoerna.

Menambah Penerimaan Negara Melalui Pajak
Dengan adanya investor asing yang masuk ke Indonesia, maka penerimaan pajak akan bertambah karena banyak pengangguran yang beralih menjadi pekerja baru serta adanya laba kena pajak dari perusahaan-perusahaan tersebut. Selain itu terdapat kemungkinan penerapan PPN atau bahkan PPnBM atas penyerahan Barang Kena Pajak/Jasa Kena Pajak dari perusahaan-perusahaan tersebut. 

Berikut adalah gambaran hubungan yang terjadi di antara persaingan negara-negara calon tujuan investasi, Tax Haven, OECD, dan G-20. 

Organization for Economic Co-Operation and Development(OECD)

OECD dibentuk pada tanggal 14 Desember 1960 dan terdiri dari 10 negara. Tujuan OECD didirikan adalah sebagai upaya melakukan atau melaksanakan koordinasi terhadap pelaksanaan Marshall Plan. Pada awalnya OECD dikenal sebagai Organization for European Economic Cooperation dan pada tanggal 20 September 1961 organisasi ini berubah nama menjadi Organization for Economic and Development.

Menindaklanjuti penandatanganan pasal 1 dari hasil Konvensi di Paris pada tanggal 14 Desember 1960, Organization for Economic Co-Operation and Development (OECD) telah membuat kebijakan-kebijakan yang bertujuan:
  • Untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang stabil, bertambahnya kesejahteraan para pekerja, dan meningkatkan standar hidup dari para pekerja yang negaranya menjadi anggota OECD, selain itu untuk menjaga kestabilan finansial dan berkontribusi kepada pertumbuhan perekonomian dunia. 
  • Untuk turut berkontribusi terhadap perluasan atau ekspansi secara ekonomi dari negara-negara anggota OECD maupun negara-negara bukan anggota OECD di dalam wacana menumbuhkembangkan perekonomian dunia. 
  • Untuk turut berkontribusi terhadap perluasan atau ekspansi secara ekonomi di dalam perdagangan dunia yang bebas tanpa mengenal koridor batas antar negara.

Pada bulan Mei 1996, OECD diberi penugasan untuk melakukan kajian yang akan dipakai untuk mengukur efek buruk harmful tax competition dari setiap keputusan untuk berinvestasi di sektor finansial dan konsekuensinya terhadap perpajakan. OECD diharuskan untuk membuat dan melaporkan hasilnya pada tahun 1998.

Untuk merespon penugasan tersebut, komite perpajakan OECD membuat suatu proyek untuk mengkaji harmful tax competition. Laporan tersebut berisi harmful tax practices sebagai akibat dari adanya tax haven dan harmful prefential tax regimes di negara-negara yang menjadi anggota maupun nonanggota OECD dan keterkaitan di antara mereka. Laporan ini berfokus kepada aktivitas keseharian mereka seperti di bidang finansial dan aktivitas jasa lainnya.

Tax Competition : A Global Phenomenon

Secara historis, kebijakan di bidang perpajakan telah dikembangkan untuk kepentingan perekonomian domestik dan sosial. Sistem perpajakan domestik dari negara yang memiliki sistem ekonomi tertutup pun memiliki pandangan internasional dimana hal ini dapat berpengaruh kepada jumlah pajak yang harus dibebankan kepada warga negaranya yang memiliki sumber pendapatan dari luar negeri dan juga dari warga negara asing yang memiliki sumber penghasilan dari negara tersebut. 

Interaksi diantara kebijakan perpajakan antar negara ini menimbulkan keterbatasan gerak dari arus modal. Kebijakan untuk menentukan tarif pajak, kebijakan belanja negara, kebijakan untuk menentukan pajak langsung maupun tidak langsung, dan juga insentif pajak adalah hal-hal yang harus diputuskan secara seksama karena berpengaruh terhadap kepentingan domestik.

Meningkatnya perdagangan dan investasi dalam skala global telah mengubah hubungan di dalam sistem perpajakan domestik secara fundamental. Penghapusan non tax barries pada perdagangan dan investasi internasional serta terintegrasinya sistem perekonomian secara nasional juga berpengaruh besar terhadap sistem perpajakan. Globalisasi berpengaruh kuat dibalik reformasi perpajakan yang berfokus kepada base broadening and rate reductions dan meminimalisasir penyimpangan di dalam praktek perpajakan. Globalisasi juga berpengaruh terhadap keinginan atau kebutuhan negara-negara untuk terus memonitor kebijakan fiskal dan belanja publik dengan harapan kebijakan fiskal mereka mendukung iklim dunia investasi.

Peningkatan arus modal juga berpengaruh terhadap berkembangnya financial and capital markets, hal ini ikut mendorong negara-negara untuk mengurangi tax barries pada arus modal dan mengkaji ulang kebijakan fiskal mereka. Perusahaan multinasional telah mengembangkan strategi global dan jaringan bisnis mereka dengan negara-negara lain. Inovasi di bidang teknologi telah membuat manajemen dari perusahaan multinasional ini dapat mengontrol perusahaan dengan mudah. Mulai dari mengontrol manajemen, aktivitas operasional, dan lain-lain. Inovasi teknologi tersebut membuat manajemen dari perusahaan multinasional ini tidak perlu hadir secara fisik.

Kebijakan mengenai pasar uang internasional yang terus berkembang, pengembangan yang dilakukan dalam rangka mencapai kesejahteraan, dan juga mengenai arus permodalan dapat dengan mudah dikontrol atau dimonitor dengan adanya inovasi di bidang teknologi. Hal ini telah meningkatkan standar hidup dan kesejahteraan di seluruh dunia karena terciptanya alokasi dan penggunaan sumber daya yang efisien, selain itu kompetisi persaingan di bidang bisnis dan ekonomi di pasar dunia pun tidak terelakan.

Globalisasi berdampak positif terhadap pengembangan sistem perpajakan, tetapi juga memiliki dampak negatif. Misalnya perusahaan-perusahaan maupun individual dapat meminimalisasi atau menghindari pajak, dan hal seperti ini bisa membuat tujuan semula globalisasi terganggu dan juga dapat mengancam kestabilan sistem perpajakan suatu negara. Oleh karena itu, reformasi di bidang perpajakan dibutuhkan untuk dapat beradaptasi dengan lingkungan global.

Dengan adanya globalisasi, negara-negara di dunia berlomba-lomba untuk terus meningkatkan pendapatan, dan khususnya di negara berkembang salah satu caranya adalah dengan mengundang investor untuk masuk dan menanam sahamnya di negara tersebut. Biasanya hal ini terjadi di negara-negara berkembang di mana mereka sangat menyambut baik kedatangan para investor untuk menanam sahamnya atau berinvestasi di negara tersebut. Umumnya investor asing tersebut berasal dari negara-negara yang sudah maju perekonomiannya, sebagai contoh Jepang, Korea Selatan, Amerika Serikat, dan negara-negara lain yang tergabung dalam OECD.

Negara-negara maju tersebut biasanya berinvestasi dengan cara mengakuisisi perusahaan yang berada di negara target investasi, membeli sebagian saham perusahaan terbuka, atau membuat perusahaan baru di negara target dimana perusahaan tersebut didirikan bertindak sebagai anak perusahaan dari perusahaan induk di negara domisili. Diharapkan dengan adanya investasi oleh investor asing tersebut, pendapatan negara target investasi bertambah karena pemasukan negara melalui pajak bertambah dan juga akan menyerap tenaga kerja. Untuk dapat menarik minat para investor untuk berinvestasi, negara-negara tersebut saling bersaing dengan harapan bahwa negaranya akan dipilih menjadi target investor untuk berinvestasi.

Cara-cara yang dilakukan agar dapat mengundang investor berinvestasi antara lain dengan menyediakan infrastruktur fisik seperti akses jalan raya yang bagus, pelabuhan dan bandar udara yang representatif dan juga penawaran menarik di bidang perpajakan seperti tax holiday. Persaingan untuk menarik minat investor ini dapat memicu timbulnya harmful tax competition apabila negara-negara yang sedang bersaing tersebut mengiming-imingi tarif pajak yang rendah kepada calon investornya atau memberikan tax holiday (pembebasan pajak) yang jangka waktunya bisa bertahun-tahun. 

Adanya harmful tax competition di antara negara-negara tersebut dapat memicu terjadinya tax haven. Dalam “Harmful Tax Competition, An Emerging Global Issue” dari OECD [1], OECD membaginya menjadi 2 jenis, yaitu Tax Haven dan Harmful Preferential Tax.

Adapun yang menjadi kriteria dari tax haven adalah sebagai berikut :
  1. Tidak memungut pajak atau memungut pajak dalam nominal tertentu tanpa berdasarkan presentase.
  2. Tidak ada atau kurang efektifnya mekanisme pertukaran informasi. 
  3. Tidak adanya transparansi dalam administrasi perpajakan.
  4. Tidak adanya aktivitas substansial.
Kemudahan-kemudahan yang akan didapatkan investor apabila berinvestasi di negara tax haven adalah sebagai berikut :
  1. Kemudahan di bidang perpajakan.
  2. Rahasia perbankan yang ketat.
  3. Kemudahan di bidang pendirian perusahaan. 
Melihat dari sisi kemudahan di bidang perpajakan, negara-negara Tax Haven dibagi menjadi 5 kategori berikut:
  1. Negara Dengan Sistem Bebas Pajak 
  2. Negara Dengan Sistem Pajak Teritorial
  3. Negara Dengan Sistem Pajak Rendah
  4. Negara Dengan Sistem Pembebanan Kepada  Jenis Pajak Tertentu
  5. Negara Dengan Sistem Pembebanan Pajak Untuk Perusahaan Tertentu Saja.
Berikut adalah penjelasan dari 5 kategori negara tax haven:

1. Negara dengan Sistem Bebas Pajak 

Negara yang menganut sistem ini tidak memungut pajak sama sekali, berbagai jenis pajak seperti pajak atas penghasilan atau pajak atas bangunan pun tidak dipungut. Contoh negara-negara yang termasuk golongan negara tax haven adalah sebagai berikut:
  • Negara Bahrain
  • Negara Cayman Islands
  • Negara Bermuda
  • Negara Bahama
  • Negara Nauru
  • Negara Cook Island
  • Negara Djibouti
2.  Negara dengan Sistem Pajak Teritorial

Sistem pajak teritorial hanya mengenakan pajak bagi pendapatan yang bersumber dari dalam negeri, apabila pendapatannya itu bersumber dari luar negeri maka tidak akan dipungut. Contoh negara-negara yang menggunakan sistem pajak teritorial antara lain :
  • Venezuela
  • Hongkong
  • Liberia
  • Panama
  • Filipina
3. Negara dengan Sistem Pajak Rendah

Negara-negara yang termasuk dalam kategori ini memberlakukan tarif pajak yang sangat rendah sekali, contohnya tarif untuk badan berkisar 0% s/d 1%.. Negara yang termasuk kedalam kelompok ini antara lain:
  • Negara Antilles Belanda
  • Negara Barbados
4. Negara dengan Sistem Pembebanan Kepada Jenis Pajak Tertentu

Sistem ini hanya membebankan pajak untuk beberapa jenis tertentu sehingga banyak aspek yang tidak dibebankan pajak. Contohnya di negara Irlandia, usaha Manufaktur dan Ekspor tidak dipungut pajak. 

5. Negara dengan Sistem Pembebanan Pajak untuk Perusahaan Tertentu

Negara-negara yang termasuk ke dalam kategori ini membebaskan pajak atau memberikan insentif pajak hanya kepada perusahaan tertentu saja. Di negara Luxemburg, Antilles, Belanda, dan Singapura memberi insentif pajak kepada perusahaan offshare & holding company tertentu yang memenuhi kualifikasi.

Tahun 1998 OECD mempublikasikan Harmful Tax Competition yang berisi tentang kebijakan OECD terhadap tax haven. Hasil dari laporan ini bertujuan untuk memberikan pemahaman terhadap adanya tax haven dan harmful tax regimes. Laporan ini menyebutkan bahwa tax haven dan harmful tax regimes dapat menyebabkan pengaruh buruk terhadap kegiatan finansial, merugikan pendapatan negara lain melalui sektor pajak, dan mendistorsi pola perdagangan dan investasi yang bisa mengganggu sistem perpajakan secara umum. 

Definisi tax haven  menurut OECD adalah sebagai berikut:
  1. Negara yang tidak memiliki aturan perpajakan dan menetapkan tarif pajak yang sangat rendah terhadap penghasilan. 
  2. Negara yang menerapkan pajak baik itu berasal dari individu maupun badan usaha, namun disertai dengan memberikan loopholes untuk menghindari pajak itu sendiri. 
  3. Negara yang memungut pajak atas penghasilan tetapi apabila dibandingkan dengan negara lain, maka tarif pajak yang dikenakan di negara tax haven lebih rendah
Tax Haven dapat didefinisikan sebagai negara yang membiayai kegiatan operasionalnya dari sumber bukan penerimaan pajak. Keberadaan negara tax haven inilah yang dimanfaatkan warga negara lain untuk menghindari kewajiban pajak di negara asalnya. 

Terdapat beberapa skema yang dapat dilakukan untuk menghindari pajak melalui negara Tax Haven, yaitu:
  1. Transfer pricing
  2. Thin Capitalization
  3. Treaty Shopping
  4. Controlled Foreign Corporation (CFC) 
Kesimpulannya, dengan adanya tuntutan globalisasi maka tidak ada lagi batas perdagangan antar negara. Semua negara bebas untuk memasukkan ataupun dimasuki oleh barang-barang konsumsi atau jasa dari negara lain. Bagi negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Jepang, Korea Selatan, dan lain-lain, ekspansi merupakan suatu keharusan. Ekspansi dilakukan dalam rangka memenangi persaingan di dunia dan hasil dari ekspansi itu akan menambah pundi-pundi kekayaan bagi pemilik perusahaan tersebut.  Negara-negara berkembang contohnya adalah negara-negara di kawasan Asia Tenggara seperti Indonesia, Vietnam, Filipina tentu saja menjadi sasaran tujuan aliran modal  bagi para investor luar untuk melakukan ekspansinya. Untuk dapat memikat hati para calon investor tersebut, maka negara-negara berkembang seperti contoh di atas melakukan usaha-usaha agar terpilih menjadi target investasi oleh para investor tersebut. 

Harmful tax competition adalah bentuk persaingan yang tidak sehat di antara negara-negara tersebut untuk menarik investor sebanyak-banyaknya, seperti adanya kebijakan tax holiday yang dapat disebut sebagai insentif di bidang perpajakan dan bahkan ada negara yang menjadi tax haven. Negara-negara tax haven inilah yang dijadikan surga pelarian bagi para investor asing untuk melakukan transfer pricing sehingga yang tersisa hanya beban-beban dan akhirnya negara sumber pendapatan tidak dapat memungut apa-apa karena perusahaan tersebut rugi (Pendapatan digeser ke negara tax haven sedangkan kerugian diakui di negara sumber).

Penerimaan Pajak Dari Sektor Informal
Penerimaan negara tidak hanya bergantung dari orang-orang yang bekerja kantoran, perusahaan besar, dan juga tidak bergantung sepenuhnya kepada para investor asing. Hal tersebut dikarenakan pendapatan negara dapat meningkat dari sektor informal. Sektor informal yang dimaksud adalah sejumlah kegiatan ekonomi yang berskala kecil. SV Sethuraman dalam artikel berjudul “Urban Poverty and The Informal Sector: A Critical Assessment of Current Strategies” mengatakan bahwa sektor informal seharusnya dipandang sebagai unit-unit berskala kecil yang terlibat dalam perekonomian daripada sebagai sekelompok perusahaan berskala kecil dengan input modal dan pengolahan (managerial) yang besar. 

Ketika Indonesia mengalami krisis moneter banyak industri manufaktur dan bank yang gulung tikar, perusahaan-perusahaan multinasional yang diharapkan kedatangannya untuk berinvestasi di Indonesia pun banyak yang kembali ke negara asalnya atau memindahkan pabriknya mencari negara yang menawarkan tarif pajak yang lebih rendah dari Indonesia.

Kala itu sektor informal dapat bertahan dari krisis moneter, dan berkat mereka produk-produk seperti sembako dan kebutuhan sehari-hari dapat terjual di masyarakat. Dengan terjualnya produk-produk tersebut di masyarakat, maka ada pemasukan bagi produsen yang berujung pada keuntungan perusahaan dan adanya pemasukan bagi negara dari sektor pajak. Adanya pemasukan negara dari sektor pajak ini yang akan menggerakkan kembali roda perekonomian. Sektor informal sukses membuat uang kembali berputar di masyarakat dan roda perekonomian kembali berputar.

Sisi positif lain dari sektor informal adalah untuk menyerap tenaga kerja. Menurut survei Badan Pusat Statistik DKI Jakarta dari Koran Tempo tanggal 13 Februari 2006, sektor informal yang ada di Jakarta ternyata mampu menyerap 193 ribu tenaga kerja. Hal ini menunjukkan bahwa peran sektor informal berpengaruh besar dalam menggerakkan perekonomian kota.

Namun ada pula sisi negatif dari kehadiran sektor informal, yaitu:
  1. Sektor informal biasa memilih lokasi berjualan di tempat yang tidak seharusnya sehingga menyebabkan kesemerawutan kota, kemacetan dan masih banyak masalah sosial lainnya. 
  2. Laba yang diperoleh sektor informal pada umumnya tidak tersentuh pajak dan mungkin hanya retribusi daerah yang mereka bayar, sehingga tidak ada pajak yang terpungut
Realita di lapangan biasanya menunjukan bahwa sebagian dari laba mereka yang seharusnya menjadi sumber pemasukan bagi kas negara ternyata dinikmati oleh oknum. Hal ini menunjukkan bahwa pengelola kota belum dapat sepenuhnya mengelola sektor informal tersebut, padahal retribusi yang dilakukan oleh oknum-oknum tersebut jumlahnya dapat mencapai milyaran rupiah. Para pelaku sektor informal tersebut tidak terbatas hanya untuk pedagang kaki lima saja melainkan juga sektor industri kreatif yang sudah mempunyai badan hukum ataupun yang mempunyai tempat usaha yang resmi (UMKM). 

Saat ini tingkat kesadaran membayar pajak dari sektor informal termasuk rendah, baik Wajib Pajak Orang Pribadi maupun yang sudah memiliki badan hukum. Hal ini merupakan tugas bagi Otoritas Pajak agar dapat memaksimalkan seluruh potensi pajak yang ada, salah satu upaya dalam menaikan kesadaran para pelaku sektor informal ini antara lain dengan diterbitkannya PP 46 Tahun 2013.

Di dalam PP 46 Tahun 2013, disebutkan bahwa Wajib Pajak Non-BUT yang menerima penghasilan dari usaha, tidak termasuk penghasilan dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas, dengan peredaran bruto tidak rnelebihi Rp 4.8 miliar dalam 1 tahun fiskal akan dikenakan tarif PPh Final sebesar 1% (satu persen) yang kemudian dikalikan DPP (Dasar Pengenaan Pajak). Dasar Pengenaan Pajak yang dimaksud adalah jumlah peredaran bruto yang diperoleh Wajib Pajak tersebut.

Dengan adanya peraturan tersebut, maka Wajib Pajak badan yang omsetnya tidak melebihi Rp 4.8 miliar dalam 1 tahun fiskal dapat membayar pajak dengan tarif yang lebih kecil yaitu 1% dari peredaran bruto dibandingkan dengan tarif sebelumnya yaitu 12,5% dari laba bersih berdasarkan pasal 31E UU Pajak Penghasilan. Diharapkan dengan peraturan baru ini, para pelaku sektor informal khususnya UMKM yang memiliki badan hukum maupun yang memiliki tempat usaha resmi melaksanakan kewajibannya di bidang perpajakan. Tapi kenyataannya di lapangan menunjukan masih banyaknya Wajib Pajak yang enggan untuk melaksanakan kewajiban perpajakannya.

Maka dari itu, transparansi informasi dan mekanisme pertukaran informasi menjadi sangat penting untuk mengetahui seberapa besar potensi pajak yang belum tergali. Dengan adanya basis data tersebut, Otoritas Pajak dapat membuat rencana dan menentukan apa-apa saja yang harus dilakukan agar potensi pajak dari para pelaku sektor informal tersebut bisa menjadi pendapatan negara.

Lebih lanjut, kenaikan penerimaan pajak dari sektor informal tersebut dapat mendongkrak kualitas pelayanan umum yang akan dirasakan seluruh lapisan masyarakat sehingga pertumbuhan di berbagai sektor pun dapat berjalan dengan lancar.

G-20 (The Group Of Twenty)

G-20 atau The Group of Twenty (G-20) Finance Ministers and Central Banks Governors, dibentuk pada tahun 1999 dan pertemuan perdananya berlangsung di Berlin 15-16 Desember 1999 dengan tuan rumah Menteri Keuangan Jerman dan Kanada. G-20 dibentuk dengan latar belakang terjadinya Krisis Moneter pada tahun 1998. Anggota G-20 adalah negara-negara dengan pendapatan tertinggi di dunia, Indonesia satu-satunya negara ASEAN yang menjadi anggota G-20. Anggota G-20 adalah sebagai berikut :
•      Afrika Selatan
•      Amerika Serikat
•      Arab Saudi
•      Argentina
•      Australia
•      Brasil
•      Britania Raya
•      China
•      India
•      Indonesia
•      Italia
•      Jepang
•      Jerman
•      Kanada
•      Korea Selatan
•      Meksiko
•      Prancis
•      Rusia
•      Turki
•      Uni Eropa

Hubungan dari OECD dan G-20 dilihat dari konteks perpajakan ada pada dukungan G-20 terhadap wacana yang dikeluarkan oleh OECD mengenai keterbukaan data nasabah bank. Indonesia sebagai anggota dari G-20 seharusnya secara otomatis mendukung rencana tersebut, namun Ketua Dewan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Muliaman Hadad mengatakan data nasabah perbankan hanya bisa dibuka bila menyangkut soal tindak pidana pajak dan harus melalui permintaan Menteri Keuangan kepada otoritas terlebih dahulu. Lebih lanjut, Menteri Keuangan pada saat itu, M. Chatib Basri mengatakan akan membicarakan tentang pembukaan data nasabah bank secara otomatis oleh Direktorat Jenderal Pajak ke OJK guna kepentingan penerimaan negara[2].

Katarzyna Bilicka dan Clemens Fuest dalam paper yang berjudul “With which countries do tax havens share information?” mengutip artikel OECD tahun 2002 yang mengatakan OECD menekankan agar Otoritas Pajak dapat mengakses data perbankan Wajib Pajak namun disertai dengan kontrol dan rasa tanggung jawab. Sebagai contoh, data-data yang didapat oleh Otoritas Pajak hanyalah akses informasi perbankan yang terbatas terhadap keperluannya di dalam aspek perpajakan.

Review laporan keuangan merupakan aktivitas utama yang dilakukan oleh Forum Global, saat ini negara-negara anggota G-20, OECD, pusat keuangan, dan lain-lain berkomitmen untuk mematuhi standar internasional. Pelaksanaan review laporan keuangan dilakukan dengan mengevaluasi kepatuhan negara-negara dalam pelaksanaan standar internasional mengenai transparansi dan pertukaran informasi. Standar internasional mencerminkan ToR Forum Global yang mengidentifikasi 10 unsur penting yang harus diketahui oleh negara-negara tersebut.

Pelaksanaan review laporan keuangan diselenggarakan sesuai dengan metodologi yang disetujui oleh Forum Global dan dilakukan sesuai jadwal. Seluruh anggota Forum Global serta negara-negara yang diidentifikasi oleh Forum Global relevan untuk direview laporan keuangannya. Review laporan keuangan dibagi tiga metode, yaitu:
  1. Fase 1, mereview tentang kerangka hukum dan peraturan dalam hal transparansi dan juga pertukaran informasi untuk tujuan pajak.
  2. Fase 2, mereview tentang implementasi dan pelaksanaan dari standar yang telah disepakati.
  3. Gabungan, mereview dan mengevaluasi dari kedua metode baik kerangka hukum dan peraturan serta implementasi dan pelaksanaan standar
Metodologi ini juga memberikan review tambahan apabila laporan negara-negara tersebut telah menunjukkan perbaikan yang signifikan. Demi konsistensi dalam melaksanakan metodologi ini, review dari Forum Global dijadikan panduan dalam laporan keuangan. Sebelum diterbitkan review laporan keuangan, semua anggota Forum Global diminta untuk memberikan masukan mengenai hubungannya dengan negara-negara lain. Review laporan keuangan yang diluncurkan akan dinilai oleh tim yang terdiri dari 2 orang ahli penilai dari negara anggota Forum Global dan administrator dari sekretariat Forum Global. Diharapkan negara yang dinilai dapat bekerjasama dengan tim penilai dan tim review laporan keuangan berkaitan dengan:
  1. Pembuatan dokumen dan data,
  2. menanggapi pertanyaan dan permintaan suatu informasi, dan
  3. memfasilitasi serta mengakomodasi kunjungan dari tim 
Setelah dipersiapkan oleh tim penilai, draft review laporan keuangan didiskusikan dan disampaikan kepada tim review. Terakhir, review laporan keuangan tersebut akan disampaikan dalam Rapat Pleno Forum Global. Evaluasi didasarkan pada kriteria-kriteria penilaian dalam hal kepatuhan pelaksanaan implementasi. Dalam keseluruhan review laporan keuangan, rekomendasi akan diberikan untuk perbaikan yang harus dilakukan oleh negara-negara tersebut. Selama review fase 1, setiap satu dari sepuluh unsur akan ditentukan apakah sudah “ada” (in place) atau perlu perbaikan yang ditandai dengan “tidak ada” (not in place). Ketika negara-negara tersebut tidak ditandai dengan “in place” pada unsur yang penting, maka negara tersebut tidak dapat melangkah ke review fase 2 sampai negara tersebut melakukan tindakan yang telah direkomendasikan oleh tim penilai. Untuk review fase 2, setiap unsur yang penting akan diberikan peringkat sebagai berikut :
  1. Compliant yaitu unsur yang penting dalam praktek telah sepenuhnya dilaksanakan.
  2. Largery compliant yaitu terdapat kekurangan dalam pelaksanaan unsur yang penting.
  3. Partial compliant yaitu unsur yang penting hanya sebagian dilaksanakan.
  4. Non-compliant yaitu terdapat kekurangan substansial dalam pelaksanaan unsur yang penting.
Untuk memastikan bahwa laporan tersebut ditindaklanjuti, negara yang dinilai perlu memberikan laporan tertulis secara detail kepada PRG (Peer Review Group) serta membuat langkah yang akan diambil untuk menindaklanjuti rekomendasi sebagai bahan review dan evaluasi PRG. Negara-negara tersebut kemudian memberikan laporan lanjutan dalam kurun waktu 6 bulan apabila terdapat satu atau lebih unsur yang masih “not in place” dalam laporan tersebut, selanjutnya negara-negara tersebut melakukan perubahan implementasi agar unsur tesebut menjadi “in place”. Forum Global mengajukan perubahan metode dengan melakukan tambahan review agar laporan dapat diterbitkan setelah perbaikan dilakukan dalam praktek transparansi dan pertukaran informasi sehingga meningkatkan rangking negara tersebut menjadi “Compliant”. Ada sebuah kasus dimana review laporan keuangan dengan penambahan laporan yang telah didiskusikan oleh PRG dan dipublikasikan setelah Pleno Forum Global menyetujuinya.

Saat ini Forum Global telah menyelesaikan 124 review yang terdiri dari 74 negara untuk fase 1, 26 negara untuk Gabungan (fase 1 + fase 2) dan 24 negara untuk fase 2. Secara keseluruhan, 100 negara telah direview fase 1, serta 50 negara telah direview fase 1 dan fase 2 dan telah menerima penilaian.

Pada pertemuan di Jakarta pada bulan November 2013, Forum Global mengumumkan 50 negara yang sudah menyelesaikan review fase 1 dan fase 2 dan juga peringkat untuk masing-masing unsur penting serta peringkat masing-masing negara.

Pengumuman peringkat ini merupakan bagian yang penting dalam proses review laporan keuangan. Secara khusus, pengumuman peringkat keseluruhan merupakan pengakuan dari negara-negara dalam pelaksanaan standar internasional dan bisa dilihat negara mana saja yang tidak masuk ke dalam tahap pelaksanaan standar internasional. 

Terdapat beberapa negara yang tidak dapat menerima peringkat karena negara-negara tersebut tidak dapat melangkah ke fase 2, ada 13 negara pada saat review fase 1 dalam hal kerangka hukum dan peraturannya kurang baik sehingga Negara-negara tersebut tidak dapat melangkah ke fase 2 sebelum mereka melakukan perbaikan atas kekurangannya tersebut. Untuk lebih jelas, berikut adalah daftar peringkat dan review fase dari laporan OECD untuk negara G-20 tahun 2013[3].


[4]









Inti dari tabel di atas menjelaskan hal-hal berikut ini:
  1. Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) menilai transparansi data perbankan untuk kepentingan perpajakan merupakan hal lumrah yang dilakukan di hampir seluruh negara.
  2. Lembaga perpajakan harus memiliki otoritas untuk membuka data perbankan guna mengevaluasi kewajiban pajak warga negara dalam waktu singkat.
  3. Forum Global bekerja untuk memastikan transparansi serta kerja sama melalui pertukaran informasi pajak sesuai standar internasional.
  4. Setiap negara akan diberikan peringkat berdasarkan kemampuan masing-masing negara dalam membuat kerangka hukum dan peraturan serta implementasinya dalam melaksanakan transparansi dan pertukaran informasi untuk keperluan pajak.
  5. Base Erosion Profit Shifting (BEPS) menurut OECD merupakan strategi perencanaan pajak yang mengeksploitasi ketidaksesuaian dalam peraturan pajak demi menghilangkan keuntungan dari pengenaan pajak.

Tulisan Siti Nuraisyah Dewi yang berjudul Ikatan Akuntan Dukung Keterbukaan Informasi Perbankan[5] mengatakan bahwa ”Direktorat Jenderal pajak saat ini sedang mendorong keterbukaan data perbankan untuk kepentingan penerimaan pajak ke depan.”  lebih lanjut  menulis ” Namun Otoritas Jasa Keuangan menilai wacana tersebut tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan”.

Tujuan Direktorat Jenderal Pajak yang menginginkan ketebukaan informasi perbankan memang baik, tetapi harus dilihat lagi secara aturan. Dirjen Pajak, Fuad Rahmany mengatakan bahwa hanya Indonesia satu-satunya negara di dunia yang data perbankannya tidak dapat diakses oleh otoritas pajaknya. Keterbukaan informasi perbankan masih terganjal oleh undang-undang perbankan, oleh karena itu usulan revisi UU ini harus dibahas dengan parlemen. 

Yayasan TIFA dalam artikelnya yang berjudul Indonesian Civil Society Urges Government To Faculitate Real Participation For OGP menulis “…Indonesia’s current chairmanship of OGP is also considered a strong opportunity to demand real and effective improvements through ambitious and strong commitments for the new Indonesian Action Plan (which is currently being developed). They call upon the Indonesian government in particular for the following things :
  1. To ensure the equality in distribution of ICT infrastructure in Eastern Indonesia.
  2. To ensure the availability of basic police and crime information as well as information in law institution by implementation.
  3. To ensure an application of standardized public service standards and a public service complaint system that is integrated nationally.
  4. To ensure the eradication of corruption through the implementation of access to information and protection of whistle blowers.
  5. To ensure the initiative of fixing the country financial management through the implementation of access to information and increase people’s participation.
  6. To apply open data and access to information policies for public monitoring on the sectors that may support the state’s income, like taxes, state owned enterprise/regional owned enterprises management, and mining/extractive industries
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) berkeberatan apabila otoritas pajak dapat mengakses data perbankan untuk kepentingan penerimaan pajak karena memang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan perbankan yang berlaku pada saat ini. Namun OECD dan negara-negara G-20 mengancam akan mengenakan sanksi kepada negara-negara yang tidak mau bekerjasama dalam hal perjanjian transparansi perpajakan dan pertukaran informasi.  Sehingga dapat disimpulkan, dorongan keterbukaan akses informasi data nasabah perbankan bukan semata untuk kepentingan penerimaan pajak semata tetapi juga untuk meningkatkan iklim investasi di dalam negeri. 

Dalam transaksi lintas negara akan sangat mungkin terjadi mekanisme pertukaran informasi antar otoritas pajak, apabila otoritas perpajakan di Indonesia punya hambatan dalam akses informasi data nasabah perbankan maka kita tidak akan dapat melakukan pertukaran informasi (exchange of information) secara efektif sebagaimana yang dilakukan oleh otoritas pajak negara lain, konsekuensinya kita akan dianggap melakukan praktek harmful tax competition, yang berujung pada menurunnya investasi di Indonesia. 

Meskipun ketentuan perbankan yang berlaku saat ini memungkinkan akses informasi data nasabah namun hanya dalam kondisi ketika Wajib Pajak tersebut diduga melakukan tindak pidana perpajakan, itupun dengan prosedur berjenjang yang tidak mudah. Sedangkan informasi yang kita butuhkan dalam kerangka exchange of information dengan negara mitra tidak selalu terkait dengan Wajib Pajak yang diduga melakukan tindak pidana perpajakan,  disinilah letak urgensinya bagi otoritas pajak memiliki kewenangan untuk memperoleh informasi data nasabah perbankan untuk kepentingan yang lebih luas, yaitu pengamanan penerimaan negara. Dengan demikian menjadi sangat jelas bahwa keterbukaan akses informasi data nasabah perbankan untuk kepentingan perpajakan ini bukanlah sebuah pilihan, tetapi sebuah keniscayaan  yang harus kita hadapi agar kita dapat diterima dalam masyarakat global. 
footnote:
[1] “Harmful Tax Competition, An Emerging Global Issue” (OECD,1998)
[3] OECD Secretary-General Report To The G20 Finance Ministers And Central Bank Governors, July 2013
[4] Annex 2: Phase 1 Reviews of OECD Secretary-General Report.
[5] Vivanews “Ikatan Akuntan Dukung Keterbukaan Informasi Perbankan” oleh Siti Nuraisyah Dewi, Kamis 13 Maret 2014.

DAFTAR PUSTAKA


Demikianlah Artikel Harmful Tax Competition dan Keterbukaan Informasi Wajib Pajak

Sekianlah artikel Harmful Tax Competition dan Keterbukaan Informasi Wajib Pajak kali ini, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sampai jumpa di postingan artikel lainnya.

Anda sekarang membaca artikel Harmful Tax Competition dan Keterbukaan Informasi Wajib Pajak dengan alamat link https://membaca-dot.blogspot.com/2014/11/harmful-tax-competition-dan-keterbukaan.html

0 Response to "Harmful Tax Competition dan Keterbukaan Informasi Wajib Pajak"

Posting Komentar