Judul : Tax Amnesty dan Penguatan Administrasi Pemungutan Pajak
link : Tax Amnesty dan Penguatan Administrasi Pemungutan Pajak
Tax Amnesty dan Penguatan Administrasi Pemungutan Pajak
Tax Amnesty dan Penguatan Administrasi Pemungutan Pajak oleh Dr. Widi Widodo )* |
Efektivitas penerapan Tax Amnesty hanya akan berhasil jika Wajib Pajak memandang bahwa melalui Tax Amnesty adalah saat yang paling tepat untuk menjadi Wajib Pajak yang patuh dengan manfaat yang tertinggi, sedangkan bagi otoritas pajak, perlu memandang bahwa melalui Tax Amnesty adalah saat yang paling tepat untuk membangun basis data yang kuat dan selanjutnya melakukan upaya Law Enforcement yang tegas dan berkeadilan.
Catatan Ekstens - Perkembangan sebuah negara salah satunya ditandai dengan adanya upaya pembangunan secara berkesinambungan. Negara harus memiliki ketersediaan dana yang cukup dalam melakukan kegiatan pembangunan untuk memenuhi kebutuhan barang dan jasa publik. Praktik yang umum dilakukan oleh banyak negara dalam menghimpun sumber dana pembangunan khususnya di negara-negara yang demokratis adalah menghimpun penerimaan pajak yang disetorkan oleh para Wajib Pajak. Besarnya kemampuan sebuah negara dalam menghimpun penerimaan pajak dan mendorong kepatuhan sukarela (voluntary compliance) akan berdampak langsung terhadap tingkat demokrasi di negara tersebut. Sistem perpajakan suatu negara merupakan refleksi dari kehidupan sosial, ekonomi dan tujuan politik pemerintah, serta mekanisme administrasinya hendaknya dapat pula melaksanakan sistem perpajakannya secara adil dan efisien.[1]
Di negara Indonesia, pajak menjadi sumber utama pembiayaan pemerintah dan pembangunan yang sangat signifikan, berikut target dan realisasi penerimaan pajak di Indonesia tahun 2011 sampai dengan 2015 [2]:
Tahun | Realisasi | Target | % |
2011 | 873,82 | 878,65 | 99,45 |
2012 | 980,17 | 1011,70 | 96,88 |
2013 | 1040,32 | 1139,32 | 91,31 |
2014 | 1143 | 1246 | 91,75 |
2015 | 1055 | 1294,25 | 81,51 |
Berdasarkan data realisasi penerimaan pajak, pencapaian realisasi selama 5 tahun terakhir tidak pernah mencapai target yang telah ditetapkan. Pada tahun 2015 sendiri realisasi penerimaan pajak jauh dari target yang telah di tetapkan yakni diperkirakan terdapat selisih 18% dari target yang seharusnya dicapai, bahkan pencapaian tersebut jauh menurun dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Penurunan penerimaan pajak yang terjadi menjadi kendala pembiayaan pembangunan yang sedang dilaksanakan. Tidak tercapainya penerimaan pajak yang ada di Indonesia disinyalir diakibatkan administrasi pemungutan pajak yang diterapkan selama ini kurang efektif. Hal tersebut tercermin dari nilai tax ratio Indonesia dari tahun ke tahun, sebagai berikut [3]:
Perkembangan Realisasi Penerimaan Pajak (2003-2015*) (sumber : bisnis.com 23/12/2015) |
Berdasarkan gambar perbandingan antara tax ratio dan penerimaan pajak yang ada di Indonesia, menunjukkan bahwa sepanjang tahun 2003 sampai dengan 2015* mengalami pola yang fluktuatif. Tax ratio sendiri merupakan perbandingan antara penerimaan pajak dengan jumlah Produk Domestik Bruto (PDB) dan kecenderungan keberhasilannya tercermin pada semakin tingginya tax ratio tersebut, hal tersebut dapat dijadikan parameter untuk mengukur sejauh mana efektifitas dan produktifitas pemungutan pajak yang dilakukan [4]. Dengan nilai tax ratio yang ada pada saat ini dapat dinyatakan bahwa administrasi pemungutan pajak yang dilakukan secara konvensional dirasakan kurang efektif.
Melihat fenomena perkembangan tax ratio di negara-negara lain, nilai tax ratio Indonesia masih jauh berada di bawah, hal tersebut tercermin dari data sebagai berikut [5]:
Tax Ratio Indonesia masih rendah |
Berdasarkan gambar perbandingan tax ratio Indonesia dengan negara-negara lainnya, menunjukkan bahwa Indonesia menjadi negara dengan nilai tax ratio terendah yakni senilai 13,3. Hal tersebut terjadi karena tingkat kepatuhan pajak rendah, kualitas basis data yang dimiliki oleh otoritas pajak sangat terbatas, perangkat serta upaya law enforcement masih kurang tegas. Selain itu terdapat faktor eksternal, dimana selama beberapa tahun terakhir ini pertumbuhan ekonomi global melambat, ketidaktercapaian penerimaan pajak setiap tahunnya menjadikan anggaran belanja negara harus di pangkas sebisa mungkin, agar tidak terjadi defisit.
Seperti diketahui, pemerintah dan Badan Anggaran DPR sepakat menunda belanja sejumlah kementerian dan lembaga di RAPBN tahun 2016 sebesar Rp 21,3 triliun. Pemangkasan tersebut dilakukan untuk menjaga defisit sebesar 2,15% [6] dari produk domestik bruto (PDB) atau Rp 273,2 triliun. Pemerintah beralasan, dengan perubahan asumsi kurs rupiah menjadi Rp 13.400-Rp 13.900 per US$ maka terjadi pergeseran penerimaan dan pembiayaan negara. Dengan menghitung belanja negara sebesar Rp 2.121,3 triliun, defisit bisa melebar hingga 2,5%. Ketidaktercapaian target penerimaan pajak selama ini harus disiasati dengan upaya penggalian penerimaan pajak dengan cara yang “tidak biasa”, seperti penerapan skema tax amnesty. Tax amnesty menurut Erwin Silitonga [7] merupakan salah satu cara inovatif untuk meningkatkan penerimaan pajak tanpa menambah beban pajak baru kepada masyarakat, dunia usaha, dan para pekerja.
Salah satu faktor yang dapat dijadikan pertimbangan diterapkannya tax amnesty pada saat ini adalah akan diterapkannya ketentuan automatic exchange of information (AEoI) pada tahun 2017, sesuai dengan kesepakatan internasional yang telah disepakati oleh negara anggota G20 dan negara anggota OECD. AEoI adalah skema yang mendukung pertukaran informasi rekening perbankan Wajib Pajak secara otomatis antar otoritas perpajakan. Melalui skema ini, Wajib Pajak yang membuka rekening perbankan di negara lain akan langsung terlacak oleh otoritas pajak negara asal [8].
Program tersebut akan memudahkan suatu negara untuk memperoleh data dari harta warga negaranya di negara lain demi kepentingan penggalian penerimaan pajak. Adanya skema tersebut maka data nasabah perbankan bukan lagi suatu kerahasiaan hingga data tersebut dapat diakses oleh otoritas negara manapun di dunia. Apabila Wajib Pajak membuka rekening di luar negeri akan terlacak oleh otoritas negara asal mereka dan tentunya akan sangat membantu otoritas pajak mencegah praktik penyelundupan pajak dan penghindaran pajak dengan cara menggeser laba ke negara lain yang bertarif pajak rendah, atau menyembunyikan harta di negara lain.
Menteri Keuangan (Menkeu) Bambang Brodjonegoro menyatakan sebelum adanya keterbukaan informasi pada tahun 2017, kebijakan pengampunan pajak atau tax amnesty harus dilakukan, demi mengungkap kekayaan masyarakat Indonesia yang belum terdata [9]. Maka tax amnesty harus diberlakukan sebelum program AEoI sehingga memungkinkan Wajib Pajak mengungkapkan harta yang dimilikinya baik yang di dalam negeri maupun di luar negeri, jika Wajib Pajak tidak memanfaatkan tax amnesty ini maka ketika program AEoI ini diberlakukan dan Wajib Pajak tersebut terlacak menyimpan harta nya di perbankan luar negeri maka Wajib Pajak tersebut akan dikenakan tarif pajak dengan ketentuan yang umum, untuk itu diharapkan skema tax amnesty menjadi resolusi untuk menerapkan adminitrasi perpajakan yang lebih baik, adil dan tegas, sehingga dapat meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak secara signifikan.
Global Financial Integrity (2014) mencatat Indonesia adalah negara terbesar kedelapan yang memiliki aliran uang haram senilai US$ 18 juta. Selain itu, Indonesia menempati peringkat kesembilan dalam daftar negara yang penduduknya menempatkan harta di negara-negara tax haven senilai US$ 331 milyar. Menurut Tax Justice Network (2010), angka itu tak menghitung potensi penerimaan pajak dari sektor informal yang besarnya tak kurang dari Rp 40 triliun per tahun. Dengan adanya program Automatic Exchange of Information yang segera akan diberlakukan, maka harta milik resident tax payer’s Indonesia dapat diketahui. Dengan demikian Wajib Pajak tidak dapat menyembunyikan hartanya sekalipun disimpan di luar negeri [10]. Wajib Pajak yang menyimpan dananya di luar negeri bukan tanpa pertimbangan yang matang, mereka menyimpan dananya di luar negeri selain karena pertimbangan manfaat ekonomi, namun juga mempertimbangkan faktor keamanan serta pelayanan. Oleh karena itu penting sekali adanya peran serta dan dukungan semua pihak dalam pelaksanaan tax amnesty ini agar dapat berjalan dengan baik.
Skema tax amnesty telah dilakukan oleh beberapa negara di dunia, sebagai contoh, pada bulan November 2001, Menteri Keuangan Italia, Giulio Tremonti mencanangkan program tax amnesty berdurasi 6 bulan, yang bertajuk “scudo fiscale”. Selama program tax amnesty tersebut berlangsung, kurang lebih sebanyak 56 milyar euro dana yang dilarikan ke luar negeri berhasil dikembalikan ke dalam negeri, sehingga menghasilkan tambahan penerimaan pajak bagi negara sekitar 1,4 milyar euro. Tambahan penerimaan tersebut memberikan kontribusi 0,4% dari total penerimaan pajak Italia pada periode fiskal tersebut [11].
Pemerintah Polandia juga melakukan hal yang sama pada bulan September 2002 dan April 2003. Sementara itu, pada musim panas 2002, Kanselir Jerman, Gerhard Schroder mengangkat wacana tentang perlunya tax amnesty diberlakukan guna mengembalikan dana-dana modal milik warga negaranya yang diparkir di negara-negara “Tax Haven” [12].
Di Amerika Serikat, sebagian besar negara-negara bagiannya telah memperkenalkan tax amnesty. Sejak tahun 1982, lebih dari 60 program tax amnesty telah dilaksanakan di negara bagian tersebut, dan memberikan hasil yang berbeda bagi upaya repatriasi penerimaan pajak diantara negara bagian tersebut [13].
Namun cerita yang berbeda datang dari negara berkembang. Das Gupta dan Mokherjee (1995) menemukan fakta bahwa program tax amnesty di India tidak berhasil meningkatkan penerimaan pajak secara signifikan. Studi yang dilakukan Najeeb Memon bahkan menunjukkan fakta mengkhawatirkan, yakni sebagian besar pelaksanaan tax amnesty di negara berkembang tidak berhasil dan dalam jangka panjang cenderung merugikan penerimaan pajak negara itu sendiri [14]. Hal tersebut terjadi karena skema tax amnesty dipandang oleh sebagian Wajib Pajak bukan merupakan resolusi nasional dalam rangka perbaikan adminitrasi pemungutan pajak secara komprehensif melalui penguatan basis data dan upaya law enforcement yang tegas dan berkelanjutan. Dengan kata lain, Wajib Pajak menganggap bahwa apabila mereka tidak patuh, mereka juga tidak akan terjangkau oleh tindakan administratif yang dilakukan otoritas pajak, dan kalaupun ada upaya administratif yang dilakukan oleh otoritas pajak maka hal tersebut tidak akan dilakukan secara simultan dan berkelanjutan.
Berbagai macam skema tax amnesty di beberapa negara baik yang mengalami kegagalan maupun kesuksesan dalam penerapannya, menjadikan satu cerminan bagi Indonesia dalam penerapannya nanti agar program tersebut efektif dalam pelaksanaannya. Disisi lain program tersebut juga harus adil kepada para Wajib Pajak yang selama ini patuh dalam membayar pajak, sehingga menghilangkan anggapan kepada otoritas pajak yang hanya memancing ikan di dalam kolam akuarium, artinya bahwa pemerintah khsususnya otoritas pajak tidak hanya menagih pembayaran kepada Wajib Pajak yang sudah patuh akan tetapi dalam kenyataannya masih banyak Wajib Pajak yang belum sepenuhnya patuh atau belum melaporkan harta dan penghasilan yang dimiliknya dengan benar. Melalui skema tax amnesty ini, diharapkan peningkatkan kualitas basis data yang dimiliki oleh otoritas pajak semakin akurat dan luas, khususnya mengenai penghasilan dan harta Wajib Pajak yang tidak pernah diungkapkan oleh Wajib Pajak di dalam SPT Tahunan (voluntary disclosure). Voluntary disclosure adalah kegiatan dengan sukarela, tanpa diminta maupun dibujuk oleh otoritas pajak, dengan memenuhi unsur (1) truthful (benar/jujur), (2) timely (tepat waktu), dan (3) complete (lengkap), yang meliputi [15]:
- Penyampaian SPT yang belum dilaporkan/disampaikan oleh Wajib Pajak atau yang belum memiliki NPWP tetapi persyaratan subjektif dan objektif sebagai Wajib Pajak telah terpenuhi; dan
- Pembetulan SPT dan pengungkapan ketidakbenaran oleh Wajib Pajak yang sebelumnya telah menyampaikan SPT, atas laporan yang tidak benar atau keliru, dimana sebelumnya terdapat: a. penghasilan yang belum dilaporkan, dan b. kesalahan pembebanan biaya, dimana dengan pembetulan tersebut mengakibatkan: (i) meningkatnya pajak yang seharusnya dibayar, dan (ii) berkurangnya kredit pajak.
Bagi beberapa negara, tax amnesty seringkali dijadikan alat untuk menghimpun penerimaan negara dari sektor pajak secara cepat dalam jangka waktu yang relatif singkat. Terutama repatriasi dana yang disimpan di luar negeri, dan kebijakan ini mempunyai kelemahan dalam jangka panjang dapat berakibat buruk berupa menurunnya kepatuhan sukarela voluntary compliance dari Wajib Pajak patuh, bilamana tax amnesty dilaksanakan dengan skema yang tidak tepat.
Disisi lain penerapan tax amnesty memerlukan susunan peraturan secara sah oleh pemerintah dan DPR. Rancangan UU yang telah ada dan di bahas antara pemerintah dan DPR akan mengatur mengenai pengampunan pokok pajak, penghapusan sanksi pidana Wajib Pajak, penghapusan atau pengurangan, sanksi administratif, atau bahkan penghapusan atau pengurangan kewajiban bunga atau keterlambatan pembayaran dan bahan kewajiban pajak [16].
Dalam merancang kebijakan tax amnesty, pemerintah harus dapat menetralisir isu “moral hazard” yang mungkin akan timbul seiring pelaksanaan kebijakan tersebut. Yang menyebabkan tax amnesty kurang populer adalah dampak negatif yang ditimbulkan akibat kelonggaran pajak yang dinikmati para pengemplang pajak, sementara Wajib Pajak yang jujur tidak mendapat penghargaan atas kejujurannya selama ini. Untuk mengurangi dampak negatif dari “moral hazard” ini, sebaiknya rencana pemberian tax amnesty, selain mencakup sanksi bunga, denda, atau kenaikan pajaknya tetapi juga harus mencakup pengampunan pokok pajaknya tetapi dengan besaran tarif yang memenuhi rasa keadilan masyarakat. Kemudian rencana ini harus diinformasikan secara luas dan terbuka melalui semua media informasi dan iklan layanan masyarakat yang tersedia kepada seluruh lapisan masyarakat, untuk memberi kesempatan berpartisipasi dan memberikan masukan atau pendapat sebelum draft rancangan Undang undang tentang tax amesty tersebut disampaikan kepada badan legislatif [17].
Diseminasi mengenai penerapan tax amnesty diharapkan dapat mencapai tujuan utama kebijakan tersebut, yaitu dengan adanya tax amnesty diharapkan bukan hanya penerimaan pajak yang meningkat akan tetapi juga akan mendorong repatriasi dana dari luar negeri dan meningkatkan iklim investasi di dalam negeri serta mampu memberikan penguatan basis data Wajib Pajak yang ada pada otoritas pajak dan diimbangi dengan penguatan kewenangan dalam upaya melakukan law enforcement untuk menguji kepatuhan Wajib Pajak. Adanya tax amnesty menjadi momentum yang baik dalam rangka penegakan hukum dan memenuhi rasa keadilan bagi seluruh masyarakat, sehingga dimasa yang akan datang tingkat kepatuhan Wajib Pajak akan meningkat secara drastis, rasio penerimaan pajak terhadap PDB juga meningkat dengan besaran yang lazim terjadi seperti di negara-negara maju dan pada akhirnya tujuan dari proses demokratisasi yang berkeadilan akan tercapai.
)*tulisan ini adalah pendapat pribadi
)*Praktisi pajak dan pengajar pada beberapa perguruan tinggi
footnote :
[1] Nowak Norman D.1970. Administration in Theory and Practice: With Special Reference to Chile,New York[2] http://bisnis.liputan6.com/read/2403217/realisasi-penerimaan-pajak-2015-capai-815-dari-target
[3] http://finansial.bisnis.com/read/20151223/10/504447/bidik-wp-besar-penerimaan-pajak-2015-optimistis-tembus-85
[4] Ibid 1
[5] IMF 2011 (diolah)
[6] http://pemeriksaanpajak.com/2015/10/20/tax-amnesty-jadi-penolong-apbn-2016/
[7] Erwin Silitonga, 2006, “Ekonomi Bawah Tanah, Pengampunan Pajak dan Referendum”, Paper Disampaikan dalam acara Dies Natalis Fakultas EkonomiUniversitas Parahyangan ke 31, Bandung, 11 Februari 2006
[8] www.jurnalasia.com
[9] http://pengampunanpajak.com/tag/automatic-exchange-of-information/
[10] http://pemeriksaanpajak.com/2015/06/09/pengampunan-pajak/
[11] Benno Togler, Christoph A. Schaltegger , 2001, Tax Amnesties And Political Participation, Public Finance Review, Vol. 33, No. 3, 403-431 (2005), (http://pfr.sagepub.com/cgi/content/abstract/33/3/403, diakse 28 Juni 2009)
[12] Ibid 10
[13] Ibid 10
[14] http://www.pajak.go.id
[15] Ibid 13
[16] Prof. Firmanzah., PhD (http://www.neraca.co.id/article/60287/tax-amnesty)
[17] Dedy Djefris S.E. Ak., M.Ak. “ Kebijakan Tax Amnesty dan Kepatuhan Pajak”
Tulisan lainnya :
- Sekilas tentang Analisis Rasio untuk Mendeteksi Kecurangan di dalam Laporan Keuangan
- Sekilas tentang Underground Economy, Kerahasiaan Nasabah Perbankan dan Penerimaan Pajak
- Harmful Tax Competition dan Keterbukaan Informasi Wajib Pajak
Demikianlah Artikel Tax Amnesty dan Penguatan Administrasi Pemungutan Pajak
Sekianlah artikel Tax Amnesty dan Penguatan Administrasi Pemungutan Pajak kali ini, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sampai jumpa di postingan artikel lainnya.
Anda sekarang membaca artikel Tax Amnesty dan Penguatan Administrasi Pemungutan Pajak dengan alamat link https://membaca-dot.blogspot.com/2016/03/tax-amnesty-dan-penguatan-administrasi.html
0 Response to "Tax Amnesty dan Penguatan Administrasi Pemungutan Pajak"
Posting Komentar